Yang Saya Dapat dari “Takhta Awan”

Saya baru saja selesai membaca novel karya Sinta Yudisia “Takhta Awan”. Novel ini merupaka seri kedua dari trilogi “The Road to Empire”, mengisahkan tentang salah satu generasi keturunan Khubilai Khan, Sang penguasa Mongolia.

Banyak sekali pelajaran yang saya petik dari novel ini. Memang, secara cerita novel ini bukan pemuas bagi mereka yang berharap akan cerita aksi peperangan. Setiap bab menceritakan masing-masing tokoh yang berperan penting dalam sebuah gerakan besar. Sinta lebih banyak menjabarkan tentang bagaimana taktik dan konspirasi disusun untuk menuju agenda besar, atau mempertahankan agenda besar. Mempertaruhkan seorang kaisar demi sebuah cita-cita.

Pelajaran yang banyak saya petik dari buah pemikiran para tokoh cerita dalam novel ini adalah, bahwa agenda besar yang akan membesarka seseorang. Seorang penguasa selalim apapun, akan memikirkan lebih dari dirinya sendiri. Dia akan memikirkan bagaimana menjaga kepercayaan orang-orang disekitarnya, mencari orang yang memiliki agenda sama dengannya, bahkan tidak jarang ia mengorbankan orang yang dicintai dan dirinya sendiri untuk tujuan tertentu.

Ada beberapa hal yang saya pelajari dari novel ini.

Kepentingan Bersama dalam Membangun Negara

Semua orang, bahkan saat ia merupakan bagian dari sebuah kelompok, pasti memiliki keinginan dan tujuannya sendiri. Memunculkan sebuah konflik yang mengharuskan orang lain mengenyampingkan kepentingan pribadi bukan perkara mudah. Seorang penguasa seperti Khubilai Khan, dalam novel ini digambarkan memiliki watak sama dengan keturunannya Arghun Khan, membangun pemerintahan bagi para pengelana. Ia mewacanakan Mongolia sebagai bangsa yang berkuda, menginginkan kebebasan dan berteman dengan alam. Namun dengan cara itulah ia mendapat kesetiaan dari para suku pengelana.

Dengan mempertontonkan kekuasaannya ia memperoleh ketundukan dari berbagai suku di Mongolia yang memang menyukai peperangan. Ekspansi, menjadi kepentingan bersama yang mebuat para pengelana duduk dan bersatu dalam sebuah rapat dewan. Merencanakan dan menyusun strategi untuk mendapat daerah taklukan baru. Bisa dimaklumi, saat negara aman, akan sulit memperoleh kesetiaan rakyat jika tidak memiliki agenda besar yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Takudar Khan, seorang kaisar muslim Mongolia yang banyak mendapat pengaruh pemikiran Persia dan Cina menjadikan pendidikan dan pertanian sebagai agenda besar. “Kalau bisa merampas, untuk apa mengusahakan sendiri”, begitulah salah satu petikan kalimat dalam novel ini. Gambaran suku-suku di Mongolia yang mengukur kekuatan dan kehormatan lewat penaklukan bukan masalah kecil bagi kaisar muda seperti Takudar Khan. Ditambah keyakinannya yang berbeda dari kebanyakan orang Mongolia. Akhirnya, ia pun tersingkir dengan cepat dari singgasana karena pemahamannya akan peradaban dimaknai kelemahan bagi banyak orang, usahanya merapikan administrasi dan kekayaan negara dianggap keinginan campur tangan atas harta pribadi para pejabat. Ya, sosok Takudar yang digambarkan tegas dan sederhana mengingatkan saya pada kisah Kong Fu Tze (Confusius) dari Cina. Beliau tersingkir dari jabatannya di pemerintahan karena para bangsawan yang menginginkan keutungan pribadi yang berlipat. Ia menetapkan hukum yang bersebrangan dengan kebiasaan para bangsawan.

Kepentingan bersama yang coba diagendakan sebuah pemerintahan tidak akan berguna jika mengenyampingkan kebiasaan dan kultur masyarakatnya. Ada sebuah pemahaman yang saya insyafi, bahwa kebijakan yang aneh sekalipun datang dari pemikiran untuk sebuah tujuan besar. Mustahil keinginan pribadi dapat mengejawantah dalam bentuk undang-undang. Namun, itulah pemimpinnya, bagaimana orang disekitarnya. “High Man” bagi Nicky Minaj seperti nafas yang mengiringi pertunjukannya. Begitupula orang yang menjadi tangan kanan penguasa. Ia harus memilih, namun kerumitan dalam situasi Arghun Khan, ia pada akhirnya yang dipilih oleh tangan kanannya. Kepalang basah berada di takhta, akhirnya ia harus terus bergerak menjalankan pemerintahan yang diisi oelha orang-orang yang tidak bisa dia percaya sepenuhnya. Cerita makin menarik walau berjalan lambat, membuat saya penasaran, bukan pada akhir ceritanya melainkan pada ‘apa yang mereka pikirkan selanjutnya’. Setiap saat langkah diambil, situasi berubah, lalu tindakan apa yang diambil pihak lawan.

Saya akui Sinta Yudisia membeberkan isi kepala dan hati mereka dengan apik. Sehingga konflik dalam novel ini lebih saya rasakan bersifat psikologis. Pertarungan para pendekar, kematian, semuanya hanyalah letupan kecil dari sati agenda besar yang diatasnamakan kepentingan bersama.

Keharusan Belajar dari Pengalaman

Saat membaca novel ini, saya seperti membuka lembar pemikiran baru. Baru bukan berarti asng sama sekali. Saya banyak mengalami kesulitan dan kemudahan, sama seperti orang lain. Namun novel ini memberi cara pandang baru atas apa yang pernah saya hadapi. Kematangan, saya memang jauh dari sifat matang, begitupun yang difahami banyak tokoh dalam novel ini. Mereka menghadapi perang, konspirasi politik yang tidak sederhana, namun mereka sadar bahwa mereka jauh dari sempurna. Makin mereka menarik pelajaran dari setiap peristiwa, makin mereka merasa harus kembali mengukur kekuatan sendiri.

Baik Arghun maupun Takudar, dalam novel ini digambarkan sebagai dua tokoh yang bertolak belakang. Namun keduanya tidak lantas berleha-leha saat keinginan sudah ditangan. Kebiasaan untuk terus belajar dan tidak berhenti pada satu titik kesuksesan membuat mereka terus meraih kesetiaan pengikutnya. Bahkan saat Arghun akhirnya masuk penjara atau saat Takudar menjadi buronan negara. Kedua kaisar muda ini selalu mencari langkah untuk membangun apa yang sudah mereka tanamkan sebagai fondasi kehidupan bernegara. Mereka mengevaluasi lalu berhitung langkah. Belajar dari musuh terbesar untuk menjadi lebih baik. Bahkan tokoh Arghun Khan yang kejam pun membuat saya kagum akan ketekunannya memikirkan apa yang ada disekitarnya, keberanian mengambil langkah, dan keberanian mengambil resiko. Mereka belajar dari pengalaman untuk memilih siapa yang mendapat kepercayaan seratus persen, setengahnya, atau tidak sama sekali. Serta mereka belajar bagaimana mendudukan orang yang tidak bisa dipercaya sama sekali demi kepentingan keutuhan negara.

Bahkan tokoh-tokoh pendukung seperti pelayan Almamuchi, Rasyidudin pendekar dari Syabz, dan tokoh pendukung lain merupakan daya tarik tersendiri. Bukan kisah mereka akhirnya bagaimana yang ditunggu, tapi langkah apa, pelajaran apa yang mereka ambil. Pengalaman terpahit sekalipun membesarkan pikiran dan melapangkan hati mereka untuk menjadi lebih hebat.

 

 

Tokoh Rasyidudin pendekar dan guru dari Syabz, merupakan tokoh faforit saya dalam novel ini, selain Inalchuk, si pelatih tentara bayaran. Mereka memiliki sifat yang mirip, hanya saja Inalchuk tidak memilih untuk terlibat dalam urusan pemerintahan, sedang Rasyiduin memilih untuk menjadi pelindung Takudar setelah lama berpisah. Inalchuk dalah tokoh yang tidak tergesa-gesa. Ia tidak mudah tergiur dengan tawaran kekuasaan. Buka karena ia orang suci, namun karena ia sudah berhitung resiko. Bukan resiko untuk dirinya sendiri, tapi resiko bagi Mongolia. Ia tidak sejalan dengan penguasa, tapi ia tidak lantas mengkudeta. Ia mengakui Takudar bukan orang yang pantas menyandang nama klan Khan, karena dia bukan raja penakluk, tapi apa yang salah kalau rakyat sejahtera dan kehidupan bernegara tertata dengan baik. Tokoh ini mengingatkan saya pada sifat fanatik yang masih kental pada masyrakat kita. Fanatik terhadap tokoh agama ataupun tokoh-tokoh lainnya. Membuat mereka memaknai segala sesuatu secara mentah dan bertindak gegabah. Cerita Inalchuk juga mengajarkan kebesaran hati untuk mengakui bahwa orang yang tidak kita suka itu memang hebat. Sesuatu yang sulit dilakukan, tapi kita harus belajar agar tidak jatuh ke lembah fanatisme buta.

Karakter Rasyidudin digambarkan sebagai pendekar dan guru agama yang saleh. Makin menarik saat penceritaan tokoh ini digambarkan sempurna sebagai manusia. Sempurna sebagai manusia karena ia digambarkan bisa marah, sedih, bingung, juga bertindak cerdas dan bijaksana. Posisinya sebagai pemimpin ekspedisi pencarian kaisar yang terlempar membuat tokoh ini memeiliki peranan penting dalam cerita. Karena ialah yang mengumpulkan semua kekuatan dan persiapan jauh sebelum penggulingan kekaisaran dijalankan. Ketenangan Mongolia saat Takudar naik takhta tidak membuatnya lengah akan bahaya yang mengintai. Memang pada awalnya bukan bahaya kudeta yang ia perkirakan, melainkan bahaya melemahnya kaisar dalam mempertahankan tujuan mulia menjadikan Mongolia memiliki peradaban yang tinggi seperti Cina dan Persia. Kisah Rasyidudin mengajarkan saya untuk tidak terjebak dalam posisi aman.  Karena berada dalam posisi aman seringkali membuat  seseorang tidak menyadari bahaya disekitarnya.

Di banyak sisi tokoh Rasyidudin menampar psikologis saya sebagai pembaca. Karena saat ini, saya akui saya merasakan apa yang dinamakan sebagai zona aman. Saat berada di zona ini, orang biasanya lupa bahwa hidup lebih dari sekedar dirinya sendiri. Begitulah seharusnya manusia memahami posisi sebagai makhluk sosial. Tindakan dan perbuatan tidak hanya berpengaruh pada diri sendiri melainkan lingkungan dan orang sekitar.

Novel ini memang tidak diperuntukan bagi mereka yang mementingkan aksi dan cerita beralur cepat. Menyelami pemikiran dan kondisi kejiwaan tokoh-tokoh didalamnya memang membosankan kalau yang dicari adalah ketegangan dalam cerita. Novel ini menarik bagi saya karena terkadang saya merasa disadarkan dan disindir dengan pemikiran para tokohnya . Mata saya terbuka lebar untuk memaknai apa yang saya lihat lebih dalam.

Saya sangat merekomendasikan novel ini bagi mereka yang ingin belajar kepemimpinan. Memang buku ini tidak secara gamblang mengajarkan bagaimana menggerakan pendukung disekitar kita, namun ceritanya akan membuat kita berfikir tentang apa yang terjadi disekitar kita, dan bagaimana mengilhami bahwa siapapun yang berada disekeliling kita membawa kepentingannya masing-masing.

2 Comments

Leave a reply to sintayudisia Cancel reply